INDESTRUCTIBLE LOVE OF PARENTS - MANUSIA & CINTA KASIH (PAPER VI)

ILMU BUDAYA DASAR

MANUSIA DAN CINTA KASIH

PAPER VI

Rumusan Masalah
1.      Membuat cerpen tentang kasih sayang
.
.
.
.
.
INDESTRUCTIBLE LOVE OF PARENTS
.
.
.

Kring.. Kring.. Kring..

Shawn terbangun di pagi itu dan mematikan alarmnya. Ia membuka jendela kamarnya dan menatap kosong langit pagi. Ia teringat mimpinya semalam dimana ia bertemu dengan almarhumah Ibunya.

Flashback.


“Shawn..”

“Siapa kau?” Shawn menatap tajam pada sesosok wanita berambut merah yang sedang tersenyum manis kearahnya. “Ah benar juga, tebak siapa aku?” wanita itu terlihat memaklumi. Shawn terlihat berpikir, “Jangan-jangan kau adalah hantu rumah ini!” Shawn terlihat ketakutan dan berjalan mundur ke belakang.

“Bukan, anak bodoh!” teriaknya kencang. Shawn makin terlihat panik.

“Ah maaf, sikapku memang agak pemarah dan tidak sabaran, walau kutahan tetap saja emosiku keluar. Apa kau tak apa-apa? Aku harap kau tidak mewarisi sikap pemarahku ini,”

Mendengar kata-kata itu, Shawn terdiam. Termenung mengkaji ulang kata-kata yang keluar dari mulut wanita cantik itu. Ia menggigit bibir bawahnya dan mata birunya mulai tergenang. Ia berlari menghampiri wanita itu dan memeluknya erat seakan tak ingin lepas.

“Aku selalu.. Ingin bertemu dengan Ibu,” katanya sembari menangis. Sang Ibu mengangguk dan membalas pelukan itu, “Ya, Anakku.”

“Banyak yang ingin kutanyakan pada Ibu,” Shawn terlihat sangat antusias dan menatap sang Ibu penuh harap. “Baiklah, apa itu?” jawab Jessica, nama sang Ibu.

“Tetapi sebelumnya aku ingin berterima kasih pada Tuhan, syukurlah ibuku seorang yang cantik dan baik hati!” Jessica tertawa mendengar ucapan Shawn. “Terima kasih, rambutmu memang mirip ayahmu tetapi maaf, wajahmu mirip denganku, Nak,”

“Tidak apa-apa, jika aku mirip Ibu, seharusnya aku mempunyai rambut indah Ibu yang berwarna merah dan lurus. Aku pasti makin tampan,” ujar Shawn membayangkannya. Jessica tertawa dan berkata, “Kamu orang kedua yang memuji rambut merahku,”

“Lalu, siapa yang pertama?”

“Tentu saja.. Ayahmu.”

Shawn menepuk pahanya, “Apa yang membuat Ayah dan Ibu jatuh cinta?! Aku ingin menanyakan ini sudah lama sekali,”

Jessica berdiri dan tersenyum, “Ah bagaimana menjelaskannya yah? Jadi, sewaktu dulu aku adalah seorang anak kecil yang pindah dari desa ke kota, dan ayahku memasukkanku kedalam sebuah akademi.”

“Disanalah aku bertemu dengan ayahmu yang sangat pendiam dan lemah. Itulah pandanganku saat aku pertama kali melihatnya. Aku menganggap remeh semua orang dan semua orang selalu mengolok-olok rambut merahku yang katanya seperti warna darah.”
Shawn terdiam menatap sang Ibu, “Dan hanya Ayahmu yang tidak pernah mengolok-olok Ibu.”
.
.
.

“Apa kau tahu aku pada awalnya sangat membenci rambut merahku ini. Tetapi, semua sirna saat ayahmu menyelamatkanku berkat rambut merah ini.” Jessica kembali duduk. “Dulu aku pernah diculik karena aku adalah anak orang kaya, aku ditawan oleh beberapa orang jahat. Aku sadar tidak akan ada yang menyelamatkanku, aku cabuti helai demi helai rambut merahku bermaksud membuat jejak untuk siapapun yang bisa menyelamatkanku,”

“Dan hanya Ayahmu yang menyadari itu, ia memang sering mengikutiku. Tetapi, aku tak menyangka tubuh remajanya yang kecil ia bisa mengalahkan tiga orang lelaki dewasa.” Jessica terlihat rindu akan sosok suaminya. “Dan, itu menjadi tali hubungan diantara kami,”
.
.
.
“Shawn, aku ingin menceritakan kejadian yang sebenarnya dimana saat aku dan ayahmu meninggalkanmu,”

“Ceritakan padaku, Bu!” Shawn menatap tajam sang Ibu penuh keseriusan.

“Saat itu kota sedang dijajah oleh bangsa lain. Dan, kami semua sibuk mengurus semua hal-hal yang harus dilakukan, dan saat itu aku sedang mengandungmu. Ayahmu adalah pemimpin kota ini, ia sedang berjuang membela kota dan disaat yang sama waktu kelahiranmu telah tiba. Ia resah, ia harus membela warga atau ikut membantuku melahirkanmu karena saat itu kandunganku lemah,”

Shawn membelalakan bola matanya dan memegang tangan hangat Jessica. “Akhirnya, ia tetap memilihmu. Karena, petugas-petugas yang menjaga dan membantuku bersalin ikut tewas. Ayahmu berlari sekuat tenaga menuju tempat kita, menguatkanku sementara kau belum juga lahir.”

“Tersisa waktu 5 menit, akhirnya kau keluar. Nenek Rieta, seorang penasehat kota mengambilmu dan menjagamu. Ayahmu kembali menjagaku dan menggendongku keluar mengikuti Nenek Rieta yang susah payah berlari sambil menggendongmu,”

Shawn menatap sang Ibu tak percaya, betapa besarnya cinta kasih orang tuanya terhadap dirinya di masa lalu.

“Lalu, apa yang terjadi, Bu?” tanyanya.

Jessica kembali bercerita, “Ayahmu mengungsikan kita diruang kerjanya. Dan ia kembali berperang, namun hal yang tak terduga, anak buah dari kepala penjajah menawan aku dan kau, dan membunuh Nenek Rieta.”

“Dibawalah kita kembali berhadapan dengan Ayahmu yang sudah compang-camping memakai seragam kebanggaannya. Peluh keringatnya membasahi kening dan pelipisnya. Sampai pada akhirnya, kepala penjajah menanyakan suatu hal pada Ayahmu,”
.
.
.
10 Oktober 1xxx
.
.
.
“Tak perlu banyak bicara lagi, Lucas. Yang mana yang harus ku ambil nyawanya terlebih dahulu?” kepala penjajah berpakaian rapi dan sedikit kotor menyeringai didepan seorang lelaki tampan dengan peluh.

Tangannya menunjuk kearah seorang wanita berambut merah panjang yang sedang memegang seorang bayi yang dibalut kain berwarna putih. “Kau bukan Tuhan, kau tidak bisa seenaknya mengambil nyawa orang lain!” balas Lucas dengan tajam.

“Kau telah membunuh kekasihku, dan giliranku untuk mengambil sesuatu yang berharga darimu!” Kepala penjajah mengambil paksa Shawn bayi dari sang Ibu dan menaruhnya tepat diatas sebuah batu besar. “Aku akan memanah anak ini dengan sekali tembak. HAHAHAHA,”

Jessica dengan sekuat tenaga berusaha bangun untuk menyelamatkan sang anak, begitu juga dengan Lucas yang berlari terkeok-keok berharap semoga ia tepat waktu menyelamatkan sang buah hati.
JLEB.
.
.
.
Sekali tancap, kedua orang tua baru itupun mengeluarkan darah dari mulut mereka. Menatap penuh syukur sang buah hati yang tersenyum menggeliat.

“Pada akhirnya, kita ditakdirkan berdua untuk mati disini. Kita belum mengucapkan selamat datang ke dunia untuk Shawn, Jessica.” Ujar Lucas dengan terbatuk-batuk.

“Selamat datang, Shawn. Maaf kau melihat kami dengan keadaan yang buruk seperti ini, Nak.” Jessica tersenyum pedih, memegang tangan Lucas erat. “Lucas, jika membayangkan masa depan kita hidup bahagia bertiga, hanya kebahagiaan yang aku rasakan. Yang kusayangkan cuma kita tak bisa melihat Shawn tumbuh besar.”

“Jessica.. Kau tahu? Aku sangat yakin bahwa nanti Shawn akan menjadi anak yang hebat dan akan membawa perdamaian di dunia,” Lucas mengelus rambut kuning sang anak yang menurun darinya.

Tiba-tiba, berbondong-bondong bantuan dari kota sebelah tiba dan betapa terkejutnya mereka bahwa pemimpin kota itu sedang merenggang nyawa bersama istrinya demi melindungi anak mereka.

“Ah, lihat.. Bantuan telah tiba. Shawn akan selamat. Jessica, katakan pesan-pesanmu padanya. Kita telah kehilangan banyak darah,”
.
.
.
“Shawn..”
.
.
.

 “Janganlah pilih-pilih.. Makanlah yang banyak biar cepat besar..” Jessica dengan terbata-bata sembari mengelus sang anak, “Mandilah setiap hari.. Biar hangat, jangan begadang dan banyaklah istirahat!”

Lucas tersenyum mendengar perkataan Jessica, “Carilah teman, Nak. Sedikit juga tak apa, cukup beberapa teman yang bisa dipercaya.. Lalu, belajarlah dan kuasai ilmu-ilmu, jangan seperti Ibu yang payah..”

“Tiap orang punya kelebihan dan kekurangan, jadi jangan putus asa jika ada yang tidak berjalan lancar.. Patuhlah pada guru, dan paling penting menabunglah, jangan minum-minuman beralkohol sampai usiamu 20 tahun.. Dan soal perempuan, Ibu tidak mengerti tetapi carilah perempuan yang kuat seperti Ibu!” Jessica mengelus pipi bulat Shawn dengan lembut. Tangisannya pecah memecah keheningan orang-orang disana yang terpana melihat kejadian itu.

“Shawn.. Pasti banyak penderitaan dan kesedihan yang menunggumu.. Tetap ingat jati dirimu, milikilah cita-cita dan percaya dirilah bahwa kau bisa mewujudkannya.. Ibu sebenarnya ingin sekali lebih banyak mengajarimu banyak hal.. Dan lebih lama bersama serta mencintaimu..”

Jessica terbatuk-batuk, dengan darah kembali mengalir. “Maaf Lucas, aku terus yang bicara,”

“Tak apa, Jess. Baiklah, Shawn.. Apa yang ingin Ayah katakan.. Sama seperti Ibumu yang cerewet..”

“Selamat tinggal, Shawn....”
.
.
.
Kembali ke alam mimpi.
.
.
.
 “Kamu terpaksa kami tinggalkan dan menanggung semuanya sendiri.” Jessica menatap sedih Shawn yang termenung. “Ayah dan Ibu tak bisa hidup bersamamu, tak bisa memberimu cinta,”

“Jangan minta maaf, Bu. Dulu aku memang sering menderita karena merasa iri pada teman-teman, tetapi aku tak dendam pada Ayah dan Ibu.” Mata hijau Jessica membulat, “Aku tak begitu mengerti cinta orang tua karena Ayah dan Ibu tak ada, tetapi sekarang aku mengerti.. Ayah dan Ibu yang mengorbankan nyawa demi aku.. MEMENUHIKU DENGAN CINTA SEBELUM AKU MENJADI SEPERTI SEKARANG INI! KARENA ITU AKU BAHAGIA!”

Tangisan yang sama kembali pecah dari mata hijau itu. Jessica berlari memeluk Shawn dengan sangat erat, tersedu-sedu ia menangis. “Aku bersyukur menjadi anak Ayah dan Ibu,”

‘Lucas.. Kau dengar? Perasaan kita tersampaikan pada anak ini’ batin Jessica.

“Shawn, anakku. Terima kasih telah menjadikanku sebagai Ibumu, serta menjadikan Lucas sebagai Ayahmu. Serta terlahir sebagai anak kami..”
.
.
.

“Terima kasih, Shawn.. Kami mencintaimu..”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS I : KELEBIHAN & KEKURANGAN 6 IDEOLOGI

MAKNA NILAI SILA-SILA DALAM PANCASILA

TUGAS II : HUBUNGAN PANCASILA DENGAN UUD 1945 & PASAL-PASALNYA